woman empowerment

Bandung yang Menyesatkan

Mudah sekali bagi orang lain untuk mengenali saya sebagai orang Bandung. Awalnya karena saya pikir mungkin cara berbicara saya yang kalau ngomong tidak ketinggalan dengan mah dan téh. Ternyata bukan hanya logat saja, katanya. Orang akan mudah mengenali saya sebagai orang Bandung dari cara berpakaian. Setidaknya begitu yang saya dapatkan ketika berkunjung ke kota -kota lain.

Entah ini sindiran atau pujian. Soalnya saya berpakaian menganut aliran slebor. Aturannya cuma asal nyaman dipakai dan tidak merusak pemandangan sekitar. Untungnya teman kami yang berasal dari pulau Dewata mematahkan rasa minder itu.

“Seneng kalau main ke Bandung itu. Trotoar sudah kayak cat walk saja. Cewek-ceweknya modis semua.” Puji dia. Saat itu kami sedang nongkrong di salah satu mall di jalan Merdeka. Lalu dia pun tak luput mengomentari cara berpakaian saya lalu bertanya-tanya di mana membelinya.

Itu tadi  kesan penampakan orang Bandung. Dari cita rasa, lebih menyesatkan lagi. Selaku orang Bandung kita harus up-date dengan kuliner yang sedang nge-hip di Bandung. Pasalnya nanti kita akan diserbu berbagai pertanyaan. Misalnya dimana cari goreng pisang enak? Tahu isi yang enak? Colenak? Cireng? Burger? Cuanki? Cilok? Batagor? dan sebagainya. Selain kita merekomendasikan kuliner, kita juga harus tahu lokasi dan cara tempuh ke lokasi tersebut. Nah, lho…  memang itu mudah?

Kalau sudah begini buat menyiasati saya suka bawa mereka ke tempat-tempat yang bisa one stop shop. Misalnya ke Tegalega, sekalian olahraga sekalian belanja fashion juga kuliner. Yaa, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Olahraganya cuma jalan-jalan doang, sisanya ya belanja.

Dulu sih banyak tempat yang mengusung tema one stop shop, seperti Gasibu. Ruginya tempat-tempat yang jadi TKP one stop shop jadi titik kemacetan dan sumber sampah. Akhirnya bikin kumuh.

Menyesatkan. Kadung kuliner di Bandung itu enak, beberapa orang menjadikannya sebagai trade mark. Di beberapa kota lain kadang saya suka melihat penjual makanan mencantumkan kata Bandung pada makanan yang dijualnya untuk menarik minat pembeli. Misalnya mie kocok , batagor, seblak lalu diembel-embeli Bandung. Kalau lagi nge-trip  penasaran juga sih, ingin mencoba bagaimana rasanya. Dan biasanya menyesatkan karena jauuuh banget rasanya dengan yang ada di Bandung. Tapi saya tidak protes mungkin mereka memodifikasinya untuk disesuaikan dengan lidah setempat. Mungkin juga karena rasa kangen mengubah indera perasa saya. Jadi ya, suka-suka mereka saja. Meskipun pada akhirnya saya menyarankan lebih baik mencari makanan yang khas daerah setempat daripada tergoda dengan kuliner yang diembeli Bandung.

Selain trade mark Bandung untuk makanan yang agak-agak menyesatkan. Terus  bahan sandang yang katanya kalau dari Bandung jadi lebih modis. Cara mengenal kota Bandung dengan mudah adalah dengan tersesat.

c80e0a32384ab832fd49afd8116d9c3e
Sumber dari sebaran di Media sosial

Sebagai orang Bandung pun saya sering kali tersesat di kota sendiri. Pertama rute weekday dan weekend sering kali berubah. Rute pas macet pun sering kali membawa pertualangan tersendiri. Jadi yah, kalau sudah begini sering-sering lah tatanya. Belum lagi jadi narasumber bagi yang sama-sama terjebak kemacetan. Menanyakan jalan tikus, soalnya bertanya pada Waze dan google kurang membantu. Kadang-kadang saya suka pelit kalau ada yang nanya jalan tikus. Masalahnya kalau saya kasih tahu nanti jalan yang biasa saya lalui jadi macet juga. Ma’af-ma’af yaa…. 😀

Petualangan nyasar di Bandung gak menyedihkan amat sih, itu menurut saya. Setidaknya berkat nyasar saya jadi tahu kota Bandung bukan dibangun dengan kemudahan. Ada tetesan keringat, darah dan air mata di sana. Syereeem yaaah, tapi itu kenyataanya.

Jpeg
Monumen ini bukan tempat naro gelas plastik bekas minuman

Mengingat kembali ketika Bandung dibumi hanguskan, dibakar habis. Sedih lah kalau diceritain mah, yang bersisa cuma monumen bambu runcingnya dan saya yakin pasti orang-orang yang lalu-lalang lewat gak akan ngeuh.

Jpeg
Pernah melewati monumen ini?

Selain cerita-cerita sedih banyak juga yang terkagum-kagum dengan kota ini. Raja Shiam yang menginspirasi film King and I pun pernah tinggal di Bandung. Rumah peninggalannya ada di Jalan Cipaganti.

Setidaknya dengan  mengenal kehebatan dan perjuangan para leluhur dalam mempertahankan kota Bandung mampu membuat kita  mencintai kota ini. Tak kenal maka tak sayang. Gak perlu jadi terkenal dulu atau menjadi Kang Emil dulu, membuang sampah pada tempatnya itu sudah cukup menunjukan kalau kita peduli dengan kota ini. Hari gini masih nyampah sembarangan, masih pakai kresek buat belanjaan. #plisatuhlah. Kasihan para leluhur kita berjuang mati-matian mempertahankan kota Bandung. Eh,  kita generasi berikutnya nyampah saja tidak bisa tertib.

Sepakat dengan Surayah Pidi-Baiq, “Dan Bandung, bagiku, bukan cuma masalah Geografis. Lebih jauh dari itu melibatkan Perasaan”.

Bandung itu bukan masalah geografis tapi perasaan. Berikut ini ada beberapa spot buat ngadaweung, buat mencari inspirasi dan melepaskan penat. Baik dalam sunyi maupun di kala ramai.

 

sumber foto-foto milik pribadi

The Unforgettable Bandung, our founding father mengatakan, “hanya ke Bandung lah aku kembali kepada cintaku yang sesungguhnya.”

Tulisan ini diikutkan dalam niaharyanto1stgiveaway : The Unforgettable Bandung

Banner-GA1 nia

10 tanggapan untuk “Bandung yang Menyesatkan

  1. Hehehe… saya pun sering nyasar kalo main sendiri di Bandung. Tapi iya, itu justru jadi bikin kita lebih kenal Bandung. Makasih sudah ikutan GA saya.:)

  2. Omong2 soal makanan yang di modifikasi, aku pernah makan di sebuah rumah makan padang di Bandung. Yang lain dari biasanya, di sana menu makanan yang minang banget dilengkapi dengan lalapan khas Sunda. 🙂

Tinggalkan Balasan ke bioeti Batalkan balasan