woman empowerment

Pahlawan Sasak Rawayan

Judul blog ini saya ambil dari Judul dokumen yang saya temukan pada saat mudik lebaran kemarin. Tentu saja cerita pertempuran ini adalah salah satu cerita pertempuran pada saat  mempertahankan kemerdekaan yang luput dari buku sejarah.

Dokumen ini dibuat sebetulnya untuk proposal pendirian monumen di tempat kejadian. Ada tiga buah dokumen. Satu hasil pengetikan yang harus direvisi, draft dengan tulisan tangan tinta biru dan satu dokumen tentang kepengurusan.

Jpeg
Dokumen Pahlawan Sasak Rawayan

Menurut dokumen, pertempuran yang berlangsung pada jam 8 pagi,  hari Senin, tanggal 26 Agustus 1946 atau 28 Ramadhan 1365 H. Satu tahun sembilan hari setelah proklamasi kemerdekaan dan dua hari menjelang Idul fitri.

Sasak Rawayan adalah sebutan untuk jembatan gantung yang terbuat dari kawat dan besi yang melintasi sungai Cisangkuy. Berada di Kampung Pataruman Desa Kiangroke – Banjaran. Dapat diakses dari jalan Soreang-Banjaran dekat Ciherang. Jembatan itu sekarang tinggal nama, dan mungkin banyak orang yang sudah lupa dengan kisah sasak Rawayan itu sendiri.

Bagi para pejuang  pertempuran di Sasak Rawayan pasti tidak akan bisa dilupakan karena sebanyak 43 tiga orang pejuang gugur dalam pertempuran tersebut, dan dicatat sebagai salah satu pertempuran yang paling banyak merengut pahlawan bangsa.  Para pahlawan yang merelakan nyawanya demi negara dan bangsa ini sehingga mereka tidak bisa merasakan Lebaran pertama kali setelah merdeka.

Para pejuang yang melintasi area pesawahan tiba-tiba saja diberondong peluru. Meski sudah diberikan wejangan untuk mempelajari strategi musuh tetapi takdir berkata lain. Sebagian lagi ada yang mengatakan ada seorang pengkhianat yang telah membocorkan gerak-gerik para pahlawan yang gugur ini sehingga dengan mudah musuh mengurung dan memborbadir mereka di area pesawahan.

Jasad para pahlawan yang gugur dan bergelimpangan di sawah diangkut  menggunakan taraje (tangga yang terbuat dari bambu) dan badodon (alat untuk mengambil ikan di sungai) oleh kaum wanita. Mereka yang selamat karena bersembunyi dalam bungker-bungker yang memang sudah dipersiapkan. Dalam dokumen itu disebutkan salah satu wanita yang melakukan evakuasi terhadap jasad para pahlawan yang gugur di pertempuran sasak Rawayan adalah Ibu Sukaesih.

Sebagian besar taraje dan badodon yang digunakan dalam evakuasi tersebut sudah habis dimakan usia. Ada satu yang tertinggal yang kabarnya disimpan di museum Mandala Wangsit Siliwangi Jl. Lembong – Bandung.

Sedangkan ke 43 para pahlawan yang gugur dalam pertempuran setelah dikumpulkan di Bale Desa Kiangroke dan Markas tentara di kampung Tarigu, keesokan harinya diberangkatkan ke Pangalengan menggunakan Truk PKKB dan dimakamkan di Ciwadara dan Citere.

Ini adalah cuplikan dari dokumen tersebut.

Jpeg
Cuplikan dokumen Sasak Rawayan
Jpeg
Nama sebagian Pahlawan yang gugur di Medan Perang Sasak Rawayan

 

woman empowerment

Pamali dan Selfie

Cerita dari lebaran kemarin yang berencana tidak mudik, tapi akhirnya mudik juga. Mudik ke tanah leluhur Bapak, kampung Bunut yang terletak di sebelah selatan kota Bandung. Sebelum Pangalengan, sekitar 21 Km dari Bandung.

Dari arah Leuwi Panjang melewati Kopo lalu Soreang, setelah melewati tempat makan kampung sawah, sekitar Ciherang, kami berbelok ke kanan di mana ada seorang laki-laki seperti memainkan bendera Simaphore dengan kaleng kecil di depannya.

banjaran

Di sana kita akan disuguhi hamparan sawah yang kekeringan. Maklum musim kemarau yang berkepanjangan. Musim ini bukan dampak karena salah pilih presiden seperti sangkaan banyak orang tapi semata-mata karena respon semesta akibat perilaku kita yang sering semena-mena pada alam. Mbak Sujiwo Tedjo lebih sering menyebutnya Sabda alam daripada melabeli sebagai musibah.

Sawah
Sawah di Kampung Bunut – Banjaran Kab. Bandung

Tour menjelajahi tempat liburan masa kecil  dipandu Yoga, sepupu saya yang rupanya mengidolakan kang Komar.

Jpeg
Yoga sebagai pemandu

Sebagai pemandu Yoga menunjukan dan menjelaskan riwayat tempat yang banyak beralih fungsi. Sekarang ada yang berubah jadi Water boom, ada villa, ada bengkel kata dia. Tapi mata air tumpuan ketika musim kemarau tiba masih ada. Masih mereka rawat karena jika tidak tentu akan berakibat fatal. Bagi yang menyadarinya karena banyak pula yang sudah tidak peduli.

Mata air itu dikelilingi kolam ikan dan pohon bambu. Ada dua mata air di sana. Yoga meminta saya untuk tidak membuat foto-foto di sekitar mata air. Saya tentu saja mematuhi permintaan itu. Apa salahnya nurut.

Menurut penduduk setempat melabeli dengan Pamali akan lebih jitu. Misalnya tidak boleh menebang pohon sembarangan di sana karena pamali. Jika dipikir secara logika saya yang dangkal, mengatakan pamali bukan bermaksud mendewakan atau musyrik. Lah, kalau ditebang, mata air nanti hilang yang kena tulah bukan hanya yang menebang tapi semua penduduk di sana.

Tidak boleh selfie, selfie membuat hilang konsentrasi. Di sana arusnya deras dengan batuan licin, nanti malah sibuk pose bukan memperhatikan keselamatan.

Itu sih kira-kira menurut pikiran saya yang harus sering diupgrade.

Beruntung sekali dulu masih bisa main di sawah, menunggang kerbau, main bebas di alam secara gratis. Kalau sekarang kegiatan ini menjadi lahan bisnis.

Katanya. 😀