buku · Film · woman empowerment

[buku]: Mencoba Horror

Dilihat dari kata pengantarnya, buku ini terinspirasi untuk memberi pengertian kepada adek-adek cilik agar jangan takut pada gambar-gambar seram. Gambar seram yang dimaksud adalah poster film. Atau bisa juga diterapkan pada  teaser film ‘panas’ nasional yang tiba-tiba nongol di layar belakang Aa-aa, Teteh-teteh penjaga tiket.

Film Panas
sumber foto : Jakarta.coconuts.com

Dari judul-judul film tersebut, kita sudah bisa menembak, jika jalan cerita film-film tadi…

………………………

……………………….

……………………….

Tidak ada jalan ceritanya.

Husssss….

Mungkin ada kali yaaaa, masa gak ada jalan ceritanya. Cuma sering kali salah fokus dengan para pemerannya.

Memang agak memprihatinkan film-film nasional saat itu. Mematikan minat buat nonton. Jangan heran jika banyak yang berpendapat, “males ah… nontonnya juga.”

Selain itu takut pembunuhan karakter, nanti dikira salah satu penggemar film b***p. Film-film itu kayaknya malah meracuni jiwa-jiwa bangsa sendiri. Gak kasihan itu apa….??!! Bangsa sendiri kok, dianiaya.

Padahal salah satu film yang turut membangkitkan gairah film nasional, selain AADC, adalah film bergenre horror. Pasti semua pada tahu film ‘Jelangkung’. Legendaris pisan.  Tetapi tetap uy, saya mah gak berani menontonnya. Cukup tahu saja jalan ceritanya. Dari teman itu juga.

Buku ini lahir ketika film-film dengan genre ‘panas’ eh, horror sedang berada di titik ‘panasnya’. Contohnya film dengan judul ‘hantu datang bulan’. Padahal tanpa harus menjadi hantu, perempuan dengan kondisi datang bulan kadang-kadang menyeram.

Cerita film pada titik panas, bisa mampir juga ke Film Panas Nasional

Para tokoh di buku  ini mungkin sudah tidak asing lagi. Punya kadar seram masing-masing. Ada Kuntilanak, Suster ngesot, Jin Tomang, Genderuwo. Pocong, Babi ngepet, Putri Pantai Selatan dan lainnya.

Gemerlap dunia film menarik minat Pocong untuk mengadu nasib peruntungan. Setelah terjadi kesalahan fatal yang menyebabkan Pocong senior ‘berasap’.  Pocong semakin bersemangat untuk menyusul senior-seniornya yang telah membintangi film sebagai pemeran utama. Tapi apa daya nasib baik tidak berpihak pada Pocong. Kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi. Jalan yang dilalui Pocong tidak semulus dibayangkan.

“… Untuk membuat diri kita laku, kita harus membuat orang mengenal kita. Saya ini mulai dapat job film setelah tiga tahun rajin update blog.” – Kunti the Queen of Horror (-Halaman 55)

Cuplikan dari halaman 55, membuat saya berpikir kalau Jeng Kunti adalah blogger.

Menurut pandangan Jeng Kunti, film horror di Indonesia masih tematik. Kecenderungan satu tema dan fokus ke tema itu saja. Jeng Kunti sukses dibanding rekan-rekannya karena dia bisa menggeneralisasi. Selain berperan sebagai Kuntilanak, Jeng Kunti sukses di Jepang sebagai Sadako, juga menjadi peran utama dalam The Ring.

Jeng Kunti berusaha untuk masuk pada berbagai segmen. Berbeda dengan nasib teman seperjuangannya, Suster Ngesot. Akibat terlalu spesifik, sehingga sulit untuk mengembangkan ide dan menembus pasar luar.

Dibantu oleh sahabatnya, Babi Ngepet. Mereka belajar kesuksesan Jeng Kunti yang kesohor di dunia dan di akherat. Serta melakukan evaluasi atas kegagalan Teteh Suster ngesot. Keduanya dilakukan demi kelancaran karir mereka di dunia entertainment.

“Iya. Nah, jadi pertama, branding yang benar. Kedua, cari peluang. Ketiga, cari peluang di luar negeri. Setelah punya uang, kamu invest di properti….” (Halaman 53)

Meskipun mengambil tokoh yang hidup di dunia kasat mata, tetapi dua sobat ini mengingatkan saya pada karakter Agus dan Gege tokoh di buku Kang Adhit sebelumnya.

Dunia hiburan adalah magnet. Sudah tidak zaman lagi jika ada orang tua yang menentang keinginan anaknya untuk terjun ke dunia hiburan. Sekarang terang-terangan, banyak orang tua yang mendorong anaknya jadi artis.

“… ketika anak berpontensi mendapat honor 20 juta per episode untuk peran utama. Kalikan angka ini dengan 150 episode stripping dan kalikan tujuh season dan anak mereka akan mendapatkan 21 Milyar. Bahkan alumni ITB dengan IPK 3 saja, may kerja sampai beler-beler, beli rumah masih kredit…” – Curhat penulis buku di halaman 114.

Mencoba Sukses
Curhat terselubung penulis buku

Buku ini menurut saya sebetulnya kritik pada film nasional saat itu.  Ada beberapa fakta mencengangkan ketika dunia hiburan menjadi profesi yang menjanjikan. Juga banyak saran agar  tetap survive di dalamnya. Misalnya mengenai cara memanajemen keuangan. Belajar berinvestasi. Hidup di dunia hiburan, bukan hura-hura semata.

Bekal materi harus tetap ada, agar jangan sampai pada masa tua kelak. Ditemukan kabar tidak sedap. Di portal gosip lagi. Kan, mengenaskan…

Pemerintah tidak mampu menghargai seorang Aktris/Aktor/Penggiat seni. Karena ditemukan hidup sebatang kara di rumah reyot. Dan lain-lainnya. <—- ini mah misalnya. Semoga tidak pernah kejadian. Aamiin

Setidaknya itu yang saya tangkap, dari membaca buku ini. Mungkin buku ini ber-genre komedi, tetapi pesan yang disampaikan bukan pesan yang ecek-ecek. Dari Sekedar Hahaha Hihihi ada saran dan kritikan. Bagi semua pencinta film. Baik itu pemain, pembuat hingga penonton.

Untungnya dunia perfilman nasional sudah berbenah. Film Panas se-panas-panasnya sudah berkurang. Kalau menghilang mungkin belum. Ada, tapi tidak banyak.

Menurut saya sih, perubahan film nasional kearah yang lebih baik , sangat dipengaruhi oleh penontonnya. So, jadi penonton film yang cerdas. Biar Film nasional makin berjaya.

Mencoba Sukses
Mencoba Sukses

Judul buku    : Mencoba Sukses

Penulis            : Adhitya Mulya

Editor              : Anwar Syafrani

Penerbit          : Gagas Media

Tahun              : 2012

X+194 hlm, 13 x 19 cm

ISBN 979-780-513-1

7 tanggapan untuk “[buku]: Mencoba Horror

  1. Kok sepertinya lucu ya bukunya hahahaha.. Ntr deh aku cari.. Tp kalo nonton film horor, akunya sih ga mau Mb. Suka kebayang2 yg ujung2nya jd takut mau kemana2 sendiri.. Suami ntr yg kasian jd harus nemenin istrinya ini termasuk pas mau ke toilet tengah malam hahaha

  2. Padahal tanpa menjadi hantu, kadang-kadang perempuan yang sedang datang bulan itu menyeramkan ngahaha true banget.

    Ini aku jadi penasaran pengin baca sendiri bukunya. Terbitan tahun di mana film horor panas lagi ngetren yaaa teh hihihi. Gegara itu branding film horor bakal begitu kebawa sampe sekarang. Beberapa temenku kalau diajak nonton film horor Indonesia (yang sekarang) di bioskop suka pada nggak mau. Alasannya ya gitu.

  3. kocak nih….
    Saya dulu termasuk berani nonton film horror bahkan sadako saja di babat sampai habis. Tapi parno berbulan-bulan gara-gara kamar kosan di depan sumur mbak hahaha. Setelah punya anak, noton film bergenre thriller dan horor udah gak berani lagi, entah kenapa.

Tinggalkan komentar