woman empowerment

Do’a

Terkadang saya suka takut salah membaca list nama-nama teman-teman Nyi Iteung, keponakan saya yang sekarang beranjak Abeugeuh. Takut salah menyebut. Banyak ejaan dan huruf di mana saya sebagai orang Sunda agak sulit melafalkan.

Tetapi saya tidak sendirian. Ternyata si empunya nama kesulitan dengan  nama mereka sendiri. Saya ingat, ketika Iteung masuk Sekolah Dasar, semua murid baru dipanggil namanya dengan lengkap. Hanya sedikit yang mengetahui nama mereka dengan pasti. Begitu pun ketika mereka diminta menyebutkan namanya dengan lengkap.

http://www.quotesofdaily.com/

Lanjutkan membaca “Do’a”

Familie · woman empowerment

Semua Akan Berubah Pada Waktunya

“Neng, upami hoyong enggal mah, naèk taksi wèh.”*

Demo angkutan kota (angkot) di Bandung yang berlangsung Kamis, 9 Maret kemarin mengingatkan kembali ingatan saya tentang kata-kata sopir angkot sekitar lima tahun lalu.

Perjalanan yang semestinya ditempuh kurang dari satu jam, malah molor hampir dua kali lipatnya. Padahal jalanan sedang lancar. Wajah kesal saya mungkin terlihat kentara sehingga Mamang Angkot melontarkan pernyataaan tadi. Tidak kesal bagaimana jika angkot yang saya tumpangi saat itu ngetem di setiap gang atau jalan kecil. Menunggu orang-orang yang sedang berjalan, menawari para ibu yang sedang meet-up di sudut jalan. Di setiap kali angkot berbelok. Di setiap wilayah yang dia lewati. Jalannya pun hanya menggelinding mundur-maju cantik.

Dan sekarang permintaan Mamang Angkot terbayar. “Taksi-taksi” yang dia maksud dengan gampang diperoleh. Mau roda empat atau dua yang siap gulak-gilek, nyempil sana-sini dengan mudah dipesan melalui aplikasi. Kalau mengingat perkataan si Mamang tentu gak perlu ada demo seperti kemarin. Dan dia harusnya gembira, angkoters macam saya tidak perlu membuat kesal mereka. Mereka bebas ngetem tanpa gerutu dari penumpangnya. Mungkin waktu itu si Mamang belum kepikiran jika taksi-taksi itu justru akan menggerus pendapatan mereka.

Itu hanya sekelumit pengalaman saya sebagai angkoters ketika menghadapi arogansi mamang-mamang Angkot. Curhat sebagai angkoters bisa dilihat di curhat angkot dan sini.

Keberadaan armada berbasis online mungkin bisa dijadikan momentum angkot untuk berbenah diri. Toh, mereka (armada online) lahir dari kebutuhan akan transportasi yang murah dan aman. Juga nyaman tentunya.

Selama ini, angkot berada di zona nyaman sehingga kaget (menjurus ke panik) ketika kemajuan teknologi mengubah keadaan dengan cepat, sedangkan angkot masih tentram nyaman di zonanya.

Armada berbasis online punya regulasi sendiri, yang saya rasakan mereka mengutamakan kepuasan pelanggan.  Pihak perusahaan tidak segan memecat karyawannya jika ada satu (satu) pelanggan yang komplen dengan pelayanannya. Karena perusahaan ini sadar mereka berbisnis dilahan pelayanan konsumen. Jika angkot diberlakukan seperti itu apakah siap? Menerima keluh kesah penumpang secara langsung.

Bagaimana jika ada penumpang yang komplen dengan kebiasaan ngetem? Atau merokok. Seingat saya sopir armada berbasis online dilarang keras merokok ketika ada penumpang. Kalau di angkot para sopir bebas merdeka.

Diturunkan sebelum tujuan. Ini sering juga terjadi. Tapi kita bisa apa? Ongkos yang dibayarkan tetap.

Jika malam tiba, sopir-sopir angkot akan diambil alih oleh sopir ‘tembak’ yang terkadang membuat kekhawatiran tambah akut. Mereka sering kali mengangkut kawan-kawannya. Berkendara ugal-ugalan. Balapan atau berantem karena hal sepele. Saya sering takut ketika naik angkot lalu supir dan kawan-kawannya membeli minuman curah di jalan Soekarno Hatta Samping Bank BCA, seberang Kantor Dishub Leuwi Panjang.

Minumannya berbau tajam, dan mereka asyik-asyik minum. Termasuk sopirnya. Sedangkan penumpang mulai panik.

Terus kita harus komplen pada siapa mengenai ini?

Masalah Ongkos, armada online jelas tarifnya. Akan terlihat berapa yang harus dibayarkan. Jika menggunakan angkot terkadang kita tidak bisa berkata apa-apa. Apalagi jika ada kenaikan BBM. Seolah-olah mereka lah yang paling nestapa terdampak oleh kekejaman pemerintah mencabut subsidi. Tapi hei, hei, hei… kenaikan BBM tidak disertai dengan kenaikan gajih buruh. Dan kita juga terdampak.

Mungkin permasalahan angkot ini kembali kepada SDM-nya. Menurut saya yang angkoters, angkot tak perlu mewah, tak perlu dilengkapi wifi, AC, tetapi sopir-sopir yang bersahaja sudah cukup. Supir bersahaja tentu angkotnya pun akan bersahaja mendukung identitas sopirnya.

Penampakan angklung (angkot Keliling Bandung) yang akan beredar mulai 23 Maret. Sumber : harian Pikiran Rakyat

Lantas bagaimana masalah SDM? kita saja sebagai karyawan sering harus mengikuti pelatihan. Mungkin saatnya para sopir angkot ini diberikan pelatihan ilmu dibidangnya. Secara berkala. Tentang keselamatan, pelayanan. Belajar tidak ada ruginya.

Ada sharing dari sopir angkot teladan.

Memang ada sopir angkot teladan??

Ya! Tentu ada meskipun jumlahnya sedikit sehingga yang muncul dipermukaan hanya kelakuan yang tidak sedap. Percayalah sopir angkot teladan itu ada, seperti sopir yang melengkapi angkotnya dengan buku bacaan. Terobosan ini bisa dibagikan kepada rekan sejawat sehingga mutu pelayanan angkot lebih meningkat. Salah satu kelebihan menggunakan armada berbasis online tertelusur. Mungkin kebaikan-kebaikan ini bisa diterapkan pada angkot.

“Bukan yang paling kuat yang bisa bertahan hidup, bukan juga yang paling pintar. Yang paling bisa bertahan hidup adalah yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan.” – Charles Darwin

Cung yang alasan membeli kendaraan (terutama roda dua) alasannya agar tidak perlu ngangkot, karena mereka ngetem! Biar sampai ke tujuan lebih cepat? Lebih murah mengendarai motor daripada naik angkot. Hemat biaya. Hemat waktu.

Lalu setelah alasan ini bukan sebuah rahasia lagi, apakah organisasi pengelola angkot dan pengusaha angkot melakukan evaluasi pada kinerjanya? setahu saya sebagai angkoters tidak ada, hanya penyesuaian tarif saja yang disosialisasikan jika ada kenaikan BBM.

Keberadaan angkot saat ini, mungkin dulu juga menggerus transportasi sebelumnya. Seperti bemo, delman, beca dan sebagainya. Atau trayek bis kota (Damri). Dulu ada jurusan Bis kota Alun-alun – Soreang, tetapi karena di demo oleh angkot Soreang, jurusan itu lenyap. Padahal lumayan cukup membantu menurut penggunannya. Sekarang kalau ke arah soreang alternatif lainnya menggunakan elf jurusan Ciwidey. Yang konon katanya kalau ingin mabok murmer gak perlu minum oplosan. Naik elf Ciwidey dijamin pas belokan bisa mabok.

Dan berita menggembirakan lainnya mengenai transportasi di Bandung adalah kabar gembira bagi kita semua yang datang dari pak Wali.

Setelah para angkoters berpaling menjadi rider, lalu sebagian lagi menjadi penumpang ojek onliner, kemudian MRT. Apakah angkot akan bertahan dengan kebiasaan-kebiasaan ajaibnya itu?

TTD

Angkoters

  • Neng, upami hoyong enggal mah, naèk taksi wèh. = Neng, jika ingin cepat lebih baik naik taksi saja.
woman empowerment

Déjà vu Penanda Waktu

Sering kali penanda waktu tidak melulu dipandu oleh putaran jarum jam. Orang-orang yang setiap saat bertemu, bersinggungan, berpapasan menjadi penunjuk waktu bagi saya tanpa harus melihat jam.

Tanpa disadari, hampir setiap hari pemandangan yang saya temui terlihat berjalan dengan konstan. Serasa mengalami déjà vu. Pengulangan peristiwa. Entah itu terjadi dalam mimpi lalu menjadi nyata sehingga saya serasa pernah mengalami. Atau memang peristiwa itu berulang kembali. Lanjutkan membaca “Déjà vu Penanda Waktu”