woman empowerment

Rokok Harus Mahal dan Dibatasi

Hari Minggu dalam perjalanan menuju tempat aerobic, saya berpapasan dengan segerombolan dengan anak laki-laki. Taksiran saya mereka sekitar kelas 4 – 6 SD. Jadi sekitar umur 10 – 12 tahun. Dilihat dari pakaiannya sepertinya mereka hendak bermain bola. Tempat saya aerobik masal memang masih banyak lahan kosong yang sering dimanfaatkan untuk berolahraga pada akhir pekan.

Ada yang membawa tas ransel dan ada pula yang membawa bola. Tapi rupanya, pakaian itu hanya untuk mengecoh. Mereka tidak berolahraga sesuai pakaiannya tapi malah bergerombol di salah satu bangunan kosong dan merokok. Salah satu anak menyembunyikan sekotak rokok pada sakunya. Lalu membagikan satu persatu rokoknya.

Ada anak yang malu-malu, ada yang antusias mencoba, ada yang ragu. Ada pula yang petangtang-petengteng melihat saya.

Miris sekali, sebatang rokok telah meningkatkan derajat ke-PD-an sehingga berani menghardik orang tua. Melontarkan kata-kata yang tidak senonoh, sampai menghina fisik. Mereka tahu kalau saya memperhatikan gerak-gerik mereka dengan jarak beberapa meter. Saya urung menghampiri  mereka untuk mengingatkan bahaya rokok. Melihat tingkahnya langsung ilang feeling.

Anak-anak menjadi konsumen potensial rokok. Penyebabnya bisa dari beberapa hal. Harga rokok yang amat terjangkau, lebih murah dan sepotong gorengan. Aksesnya pun sangat mudah. Melihat perilaku orang dewasa.

Pada tanggal 14 Agustus lalu, sebuah Talkshow Ruang Publik KBR dengan tema “Jauhkan Kelompok Rentan dari Rokok”. Bersama dua orang narasumber yaitu Dr. Abdillah Ahsan, Wakil kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI dan Dr. Arun Atmawikarta, MPH – Manager Pilar Pembangunan Sosial Sektretariat SDG’s Bappenas.

Bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui dan orang yang menderita penyakit termasuk dalam kelompok rentan dilihat dari sisi aspek kesehatan. Kelompok yang lebih luas lagi yang dimasukan kedalam kelompok rentan agar dijauhkan dari rokok adalah kelompok miskin dengan pendapatan kuintil 1 dan kuintil 2. Jumlahnya sekitar 9,7% berdasarkan survey BPS. Serta kelompok marginal lain yang tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Merupakan wilayah yang potensial menyumbang jumlah kelompok rentan.

RokokHarusMahal
kelompok ‘rentan’ di angkot

Mereka harus dijauhkan karena berdasarkan data BPS menunjukan pengeluaran konsumsi rokok lebih besar daripada pengeluaran biaya pendidikan atau kesehatan. Hasil sensus nasional memperlihatkan pola belanja kelompok miskin. Sekitar 22% untuk beras. 12-17% untuk rokok. Pendidikan dan kesehatan sekitar 3%. Dengan begitu para orang tua, khususnya para ibu lebih banyak belanja rokok daripada memberikan asupan makanan yang baik kepada anak-anaknya. Sebetulnya mereka tahu mengenai bahaya merokok. Baik bagi kesehatan dirinya sendiri maupun dampaknya pada orang lain. Banyak alasan untuk memulai merokok, lebih banyak alasan seseorang untuk berhenti.

Sangat disayangkan banyak usia produktif yang tidak bisa berkarya optimal karena kesehatannya terganggu akibat kebiasaan merokok. Disayangkan pula, masyarakat miskin menjadi penyumbang terbesar kekayaan pemilik perusahaan rokok.

Orang kaya versi majalah Forbes dari Indonesia kebanyakan pemilik perusahaan rokok.

Untuk mengatasi dampak merugikan rokok, serta pencegahan agar generasi muda tidak terpapar oleh bahaya rokok. Saya setuju jika pemerintah menaikan cukai rokok. Pemerintah sebagai pemegang amanah, diharapkan dapat membatasi dan mengendalikan peredaran rokok.

Seperti setiap hari saya disuguhi iklan rokok. Bukan dari layar kaca atau media sosial. Tetapi dari baligo, flyer sepanjang jalan. Bahkan pemandangan kami ketika menunggu angkot tidak lepas dari persaingan iklan harga murah rokok. Di layar kaca memang sudah dibatasi. Iklan rokok muncul setelah jam 21.00. Tetapi tidak pada keseharian.

rokokharus mahal
Iklan Rokok di sekitar saya

Kemudahan mendapatkan rokok harus turut diawasi. Kemudahan ini menurut saya yang membuat banyak anak-anak ikut mencoba dan memutuskan menjadi perokok aktif.

Pemerintah membuat regulasi agar tidak setiap orang diberi akses untuk mendapatkan rokok. Tidak setiap warung dapat memperjual belikan rokok. Harus ada cukai tertentu bagi warung yang ingin menyediakan rokok. Cukai yang berlapis ini akan menyebabkan harga rokok tinggi.

Dari iklan-iklan rokok yang saya perhatikan sepanjang jalan. Rokok satu kotak bisa diperoleh dari kisaran Rp12.000,- hingga Rp20.000,-. Sedangkan anak-anak bisa juga membeli rokok yang kisaran harganya seribu hingga seribu lima ratus per batang. Ini yang saya sebut lebih murah dari gorengan.

Rokok mudah didapatkan di mana saja. Di perempatan, merupakan pasar potensial. Pedagang asongan hampir 80% menjajakan rokok dan minuman kemasan.

Di warung-warung sekitar rumah, saya masih sering melihat orang tua yang menyuruh anaknya membeli rokok. Para pemilik warung juga tidak melakukan saringan kepada siapa produknya dijual. Anak-anak bisa membeli dengan dalih untuk orang tuanya, jadi pemilik warung tidak curiga. Atau bahkan mereka tidak peduli siapa yang membeli yang penting ada barang yang keluar.

Harga mahal akan melindungi anak-anak dan kelompok yang dikategorikan miskin untuk membeli. Jika perlu pembelian rokok tidak boleh tunai dan tidak semua tempat boleh menjual. Rokok hanya disediakan ditempat yang ditunjuk.

#Rokokharusmahal
#Rokok 70ribu
#Rokokmemiskinkan

 

5 tanggapan untuk “Rokok Harus Mahal dan Dibatasi

      1. Salah satu penyebabnya nya adalah pergaulan dan lingkungan. Sangat berpengaruh terhadap perilaku anak. Saya jadi inget dulu, SMP kelas 3, pindah rumah ke kampung halaman pun bapa. Ternyata berbeda dengan tempat ibu saya. Disana, anak-anaknya lebih mudah akrab, dan disanalah saya muda mulai berkelompok, mengenal gitar, main di malam hari, termasuk rokok dan…sedikit minuman ber-etanol.
        Sampai akhirnya bapa menyadari hal itu, dan SMA kelas 2, kami pindah lagi ke tempat semula.

Tinggalkan komentar